Bukan sekadar
analogi, tapi mungkin memang seperti itu. Di dunia ini kita seperti seorang
penjual. Dan Allah sebagai pembelinya.
Bukan keimanan atau ibadah yang diperjualbelikan, karena bukan itu yang ingin saya bahas kali ini. Saya hanya ingin meminjam istilah “penjual” dan “pembeli”nya saja. Bukan bicara tentang yang diperjualbelikan.
Bukan keimanan atau ibadah yang diperjualbelikan, karena bukan itu yang ingin saya bahas kali ini. Saya hanya ingin meminjam istilah “penjual” dan “pembeli”nya saja. Bukan bicara tentang yang diperjualbelikan.
Bukankah kita
tahu bahwa mental seorang penjual adalah pantang menyerah untuk dapat slalu
menyenangkan pembelinya? Seperti itulah kita seharusnya dengan Allah. Pantang menyerah
untuk mendapatkan perhatian-Nya dalam hal ini afalah Ridho-Nya. Bukankah tidak
ada yang jauh lebih berharga di dunia ini selain keridhoan-Nya. Kita semua tahu
tak jarang pedagang yang dicaci maki, dimarahi ketika tidak puas, bahkan tidak
jadi membeli setelah lama menawar. Sebagai seorang pedagang pasti membutuhkan
mental yang jauh lebih kuat dari itu. Kita mungkin akan sangat jengkel terutama
saya pasti segera menyerah jika diperlakukan seperti itu. Tapi tidak dengan
para pedagang di luar sana yang masih tetap bermental baja demi menyenangkan
pembelinya.
Seorang pembeli
mempunyai sifat pilih-pilih. Mereka berhak memilih mana yang mereka suka, lalu
pergi begitu saja ketika tidak suka. Bahkan tak jarang ada yang mengolok-olok
barang dagangannya. Mereka punya ak memilih, meminta, menanyakan, bahkan
menawar barang. Itu karena mereka merasa seperti punya “kuasa” yang terletak
pada uang mereka. Dan karena “kuasa” (uang) itulah para pedagang berusaha
sebaik mungkin untuk menawarkan, menyediakan pilihan, memenuhi permintaan, dan
juga memberikan tawaran murah. Mereka para pedagang saling berebut simpati
pembeli agar memilih barangnya. Lalu seperti apakah kita? Sudahkah kita menjadi
seorang penjual yang begitu ramah kepada pembelinya? Padahal kuasa pembeli itu
tidak hanya sebatas uang atau keuntungan, tapi segala kekuasaan dimiliki-Nya. Kekuasaan
yang ada di langit dan bumi. Dia bahkan bisa saja marah lalu memporak-porandakan
kita jika kita tidak memenuhi keinginannya, tidak mengikuti permintaanya, atau
permintaan yang kita berikan tidak sesuai dengan yang Dia inginkan.
Tapi tidak,
pembeli itu begitu BAIK. Bahkan kita yang sudah terlalu jahat. Pembeli itu
tidak pernah marah apalagi MURKA pada kita. Sekalipun kita pernah tidak
memenuhi permintaan-Nya. Atau bahkan sering? Dia tidak pernah
memporak-porandakan kita. Dia hanya mendiamkan ita saat kita tidak mengindahkan
panggilan-Nya dan permintaan-Nya, hanya sesekali menegur mengingatkan kita. Tapi
sungguh, kita terlalu TULI, dan BUTA untuk tahu itu. Bahkan Dia pun pernah
mengingatkan bahwa sekalipun kita dibuat BUTA, TULI, dan BISU, kita tetap tidak
kembali. Astagfirullah...
Dia tidak
minta apapun, Dia pun tidak butuh apapun dari kita, sekalipun DIA pembeli. Dia tidak
butuh ibadah dan amalan kita, Dia terlalu kuat dan terlalu punya semuanya jika
sekadar untuk meminta dari kit. Dia hanya ingin menguji kita. Sebagai seorang
pembeli, Dia sangat berhak untuk memilih. Memilih ibadah mana yang Dia terima,
doa mana yang akan dikabulkan. Tapi Dia tidak melakukan itu. Dia berlaku dengan
begitu adilnya, bahka kepada orang yang sudah menghianati-Nya sekalipun. Dia tidak
pernah membeda-bedakan, semua diperlakukan sama. Semua doa dikabulkan-Nya.
Coba rasakan,
betapa BAIK dan SEMPURNA-Nya DIA. Coba kita renungkan betapa KURANG dan
BURUKnya kita. Berpikirlah bahwa kita adalah seorang pembeli yang engharapkan
perhatian dan ridlo-Nya untuk menjalani kehidupan kita. Berlomba-lombalah untuk
mendapat perhatian-Nya. Takutlah jika kita dan doa kita bukan salah satu dari
pilihan-Nya. Karena sekali lagi, DIA-LAH yang menjadi pembelinya, yang menjadi
rajanya, dan DIA-LAH yang berkuasa dalam PILIHAN.
Lantas,
sudahkah kita menjadi pedagang yang baik untuk-Nya?
0 komentar:
Posting Komentar