Kamis, 05 Februari 2015

Karena Kita Penjualnya


Bukan sekadar analogi, tapi mungkin memang seperti itu. Di dunia ini kita seperti seorang penjual. Dan Allah sebagai pembelinya.
Bukan keimanan atau ibadah yang diperjualbelikan, karena bukan itu yang ingin saya bahas kali ini. Saya hanya ingin meminjam istilah “penjual” dan “pembeli”nya saja. Bukan bicara tentang yang diperjualbelikan.
Bukankah kita tahu bahwa mental seorang penjual adalah pantang menyerah untuk dapat slalu menyenangkan pembelinya? Seperti itulah kita seharusnya dengan Allah. Pantang menyerah untuk mendapatkan perhatian-Nya dalam hal ini afalah Ridho-Nya. Bukankah tidak ada yang jauh lebih berharga di dunia ini selain keridhoan-Nya. Kita semua tahu tak jarang pedagang yang dicaci maki, dimarahi ketika tidak puas, bahkan tidak jadi membeli setelah lama menawar. Sebagai seorang pedagang pasti membutuhkan mental yang jauh lebih kuat dari itu. Kita mungkin akan sangat jengkel terutama saya pasti segera menyerah jika diperlakukan seperti itu. Tapi tidak dengan para pedagang di luar sana yang masih tetap bermental baja demi menyenangkan pembelinya.
Seorang pembeli mempunyai sifat pilih-pilih. Mereka berhak memilih mana yang mereka suka, lalu pergi begitu saja ketika tidak suka. Bahkan tak jarang ada yang mengolok-olok barang dagangannya. Mereka punya ak memilih, meminta, menanyakan, bahkan menawar barang. Itu karena mereka merasa seperti punya “kuasa” yang terletak pada uang mereka. Dan karena “kuasa” (uang) itulah para pedagang berusaha sebaik mungkin untuk menawarkan, menyediakan pilihan, memenuhi permintaan, dan juga memberikan tawaran murah. Mereka para pedagang saling berebut simpati pembeli agar memilih barangnya. Lalu seperti apakah kita? Sudahkah kita menjadi seorang penjual yang begitu ramah kepada pembelinya? Padahal kuasa pembeli itu tidak hanya sebatas uang atau keuntungan, tapi segala kekuasaan dimiliki-Nya. Kekuasaan yang ada di langit dan bumi. Dia bahkan bisa saja marah lalu memporak-porandakan kita jika kita tidak memenuhi keinginannya, tidak mengikuti permintaanya, atau permintaan yang kita berikan tidak sesuai dengan yang Dia inginkan.
Tapi tidak, pembeli itu begitu BAIK. Bahkan kita yang sudah terlalu jahat. Pembeli itu tidak pernah marah apalagi MURKA pada kita. Sekalipun kita pernah tidak memenuhi permintaan-Nya. Atau bahkan sering? Dia tidak pernah memporak-porandakan kita. Dia hanya mendiamkan ita saat kita tidak mengindahkan panggilan-Nya dan permintaan-Nya, hanya sesekali menegur mengingatkan kita. Tapi sungguh, kita terlalu TULI, dan BUTA untuk tahu itu. Bahkan Dia pun pernah mengingatkan bahwa sekalipun kita dibuat BUTA, TULI, dan BISU, kita tetap tidak kembali. Astagfirullah...
Dia tidak minta apapun, Dia pun tidak butuh apapun dari kita, sekalipun DIA pembeli. Dia tidak butuh ibadah dan amalan kita, Dia terlalu kuat dan terlalu punya semuanya jika sekadar untuk meminta dari kit. Dia hanya ingin menguji kita. Sebagai seorang pembeli, Dia sangat berhak untuk memilih. Memilih ibadah mana yang Dia terima, doa mana yang akan dikabulkan. Tapi Dia tidak melakukan itu. Dia berlaku dengan begitu adilnya, bahka kepada orang yang sudah menghianati-Nya sekalipun. Dia tidak pernah membeda-bedakan, semua diperlakukan sama. Semua doa dikabulkan-Nya.
Coba rasakan, betapa BAIK dan SEMPURNA-Nya DIA. Coba kita renungkan betapa KURANG dan BURUKnya kita. Berpikirlah bahwa kita adalah seorang pembeli yang engharapkan perhatian dan ridlo-Nya untuk menjalani kehidupan kita. Berlomba-lombalah untuk mendapat perhatian-Nya. Takutlah jika kita dan doa kita bukan salah satu dari pilihan-Nya. Karena sekali lagi, DIA-LAH yang menjadi pembelinya, yang menjadi rajanya, dan DIA-LAH yang berkuasa dalam PILIHAN.
Lantas, sudahkah kita menjadi pedagang yang baik untuk-Nya?

0 komentar:

Posting Komentar