Aku tahu aku bukan yang terbaik. Dalam berbagai hal pun, aku
tidak pernah menjadi yang terbaik.
Ketika melihatnya, aku tahu aku tidak secantik dia. Tidak
sepintar dia, tidak sesholihah dia, tidak sekaya dia, dan juga tidak
seperhatian dia.
Aku pun juga tak punya kelebihan seperti dia. Yang ada dalam
kehidupanku mungkin hanya kekurangan-kekurangan. Hingga aku berpikir bahwa
tak
pernah ada hal baik dalam kehidupan. Itulah kesalahan terbesar dalam pikiranku.
Hingga seseorang pernah berkata, yang itu seketika menjadi sentuhan lembut yang
masih selalu membekas dalam ingatanku.
“Kamu Masih Tetap yang Terbaik kok, va!”
1 kalimat singkat yang begitu menghentakkan pikiranku selama
ini. Apa ini? Dalam kondisi seburuk ini dia masih bisa berkata bahwa aku masih
yang terbaik? Terbaik dari sudut pandang mana?
Kutanyakan padanya, dari sudut pandang mana aku terlihat
msih tetap yang terbaik?
Dan dia pun menjelaskan detail tentang hal-hal yang tak
pernah kusadari selama ini.
Dia bilang, “mungkin kamu bilang, dia jauh lebih cantik,
lebih kaya, lebih sholihah, lebih pintar dan lebih perhatian dari kamu, tapi
ada satu hal yang dia tidak punya dari kamu. Yang itu justru menjadi penghancur
dari semua kelebihan-kelebihannya yang kamu bilang tadi. Yang dengan itu pula
pa yang ada dalam dirinya menjadi sesuatu yang tidak pernah ada artinya. Kamu
tahu itu apa?”
“Apa?”, tanyaku sekedarnya karena aku tidak begiu tertarik.
aku berpikir, bahwa dia hanya ingin menghiburku saja saat ini.
“Hati beserta Ketulusannya” , jawabnya singkat. Seolah ingin
membuatku penasaran.
Tapi aku tetap tidak begitu tertarik.
dia lalu melanjutkan, “Va, apa gunanya semua kebaikan dan
kelebihannya tadi kalau dia tidak punya hati? Bukankah kamu sendiri tahu bahwa
inti dari seluruh perbuatan kita adalah HATI?”
Aku hanya mengangguk mencoba memahami setiap katanya.
Dia lalu melanjutkan, “Kamu punya Hati yang tulus, Va.
Sekalipun hati dan ketulusanmu tidak pernah berbalas.” Percayalah suatu saat
akan ada orang yang membalas kesetiaan dan keseriusanmu itu.”
“Jangan kamu khawatirkan tentang balasan rasamu. Masalah
balasan itu bukan urusan kita. Allah yang punya andil dalam hal ini. Tak
seharusnya kamu melakukan hak Allah, kan?”
“Dia terlalu bodoh sudah melepaskanmu dan hatimu. Dan
biarkan orang bodoh itu menyesali kebodohannya sendiri. Kalau dia terlalu bodoh
untuk meninggalkanmu, kamu pun harus cukup pintar untuk meninggalkannya.”
“sudah. Cukup.” Kataku. Mencoba menghentikannya bicara. Aku
hanya tak mau terlalu lama mengingat kejadian kemarin.
Tapi 1 hal kalimatnya yang menyadarkanku. “ Yang terpenting
hati dan ketulusannya”. Dan alhamdulillah aku pernah melakukannya.
Terimakasih sahabat, sudah menyadarkanku tentang ini.
0 komentar:
Posting Komentar